HUKUM ISLAM TENTANG HARTA GONO GINI[1]
Pernikahan
merupakan sunnatullah yang umum dan berlaku pada semua makhluknya,baik pada
manusia,hewan maupun tumbuh-tumbuhan[2].Ia adalah suatu cara yang dipilih oleh Allah Swt. Sebagai
jalan bagi makhluknya untuk berkembangbiak,dan melestarikan hidupnya.Pernikahan
akan berperan setelah masing-masing pasangan siap melakukan peranan nya yang
positif dalam mewujudkan pernikahan itu sendiri.
Ahli hukum islam
Tihami, dan Sohari Sahrani berpendapat bahwa salah satu tujuan pernikahan yaitu
Menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung jawab menerima hak serta kewajiban,
juga bersungguh memperoleh harta kekayaan yang halal.[3]
Peran
suami dalam suatu keluarga berkewajiban memberikan nafkah kepada istri dan
anak-anak nya baik berupa pangan, sandang, papan (makanan,pakaian, dan tempat
tinggal yang layak ) yang bisa disebut dengan harta.
Harta[4]
adalah segala sesuatu yang dapat disimpan unutk digunakan ketika
dibutuhkan.Sementara menurut Hasbi Ash-Shiddieqiy yang dimaksud dengan harta
adalah :
1. Nama selain manusia yang diciptakan
Allah untuk mencukupi kebutuhan hidup manusia, dapat dipelihara pada suatu
tempat, dan dikelola (tasharruf) dengan jalan ikhtiar.
2. Sesuatu yang dapat dimiliki oleh setia
manusia, baik oleh seluruh manusia maupun oleh sebagian manusia.
3. Sesuatu yang sah untuk diperjualbelikan
4. Sesuatu yang dapat dimiliki dan
mempunyai nilai ( harga )
5. Sesuatu yang berwujud
6. Sesuatu yang dapat disimpan dalam waktu
lama atau sebentar dan dapat diambi manfaatnya ketika dibutuhkan.[5]
Jadi
dapat disimpulkan harta adalah nama bagi selain manusia, dapat dikelola, dapat
dimiliki, dapat diperjualbelikan dan berharga.
Pada masyarakat Indonesia sudah menjadi sesuatu
yang mengakar dalam budaya dan adat bahwa hasil pencaharian yang didapat dalam
masa perkawinan dipandang sebagai harta bersama suami istri. Hal ini merupakan
konsekuensi dari terjadinya akad nikah. Semua harta yang dihasilkan oleh pihak
suami Istri telah menjadi milik bersama tanpa melihat kepada besar-kecilnya
pendapatan bahkan dalam keadaan tidak adanya penghasilan salah satu pihak.
Tidak ada pemisahan antara harta suami dan harta istri. Harta Pencaharian suami
bercampur dengan harta hasil pencarian istri.[6]
Dalam
Ensiklopedi Hukum Islam, dijelaskan bahwa harta bersama atau harta gono gini
adalah harta bersama milik suami istri yang mereka peroleh selama perkawinan.[7]
Pasal 119 KUHPerdata menyatakan
bahwa sejak saat perkawinan dilangsungkan, demi hukum berlakulah persatuan
bulat antara harta kekayaan suami dan isteri. Jadi hukum perkawinan dan
KUHPerdata mengenai asas persatuan/ pencampuran harta kekayaan atau asas harta
kekayaan bersama. Akan tetapi berdasarkan suatu perjanjian perkawinan yang
harus dibuat dengan akta notaris sebelum dilangsungkan perkawinan maka suami
isteri dapat menempuh penyimpangannya. Harta kekayaan bersama terdiri:
- Aktiva, yang meliputi modal, laba/keuntungan serta bunga dari barang yang bergerak maupun tidak bergerak, yang diperoleh suami isteri itu sebelum maupun selama perkawinannya juga termasuk yang mereka peroleh sebagai hadiah dari pihak ketiga, kecuali bila mana ada larangan hadiah/hibah itu dimasukkan dalam persatuan harta kekayaan.
- Pasiva, yang meliputi hutang-hutang suami isteri yang dibuat sebelum maupun sesudah perkawinannya. Harta kekayaan di dalam perkawinan itu tidak boleh diadakan perubahan apapun juga selama perkawinan. Hal demikian dimaksudkan untuk melindungi pihak ketiga atau para kreditur.[8]
Adanya
harta bersama dalam perkawinan tidak menutup kemungkinan adanya harta milik
masing-masing suami istri. Harta bersama tersebut dapat berupa benda tidak
bergerak dan surat-surat berharga. Sedang yang tidak berwujud bisa berupa hak
atau kewajiban. Keduanya dapat dijadikan jaminan oleh salah satu pihak atas
persetujuan dari pihak lainnya.Suami istri, tanpa persetujuan dari salah satu
pihak, tidak diperbolehkan menjual atau memindahkan harta bersama tersebut.
Dalam hal ini, baik suami maupun istri, mempunyai pertanggungjawaban untuk
menjaga harta bersama.[9]
Harta
bersama dalam islam lebih identik diqiyaskan dengan syirkah abdan mufawwadah yang berarti perkonsian tenaga dan
perkongsian tak terbatas. Meskipun gono gini tidak diatur dalam fikih islam
secara jelas, tetapi keberadaan nya, paling tidak dapat diterima oleh sebagian
ulama Indonesia. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa banyak suami istri,
dalam masyarakat Indonesia, sama –sama bekerja, berusaha untuk mendapatkan
nafkah hidup keluarga sehari-hari dan sekedar harta untuk simpanan ( tabungan )
masa tua mereka. Walaupun demikian:
1. Suami berhak untuk membatasi dan
mengakhiri pekerjaan istrinya bila perlu
2. Dia berhak melarang pekerjaan yang
dirasanya akan menjerumuskan istrinya kepada kejahatan, kesesatan atau
penghinaan.
3. Istri berhak berhenti dari pekerjaannya
kapan saja.
4. Setiap pendapatan yang diperoleh istri
adalah milik keluarga bukan milik pribadi istri.[10]
Bila
keadaan memungkinkan ada juga peninggalan untuk anak-anak sesudah mereka
meninggal dunia.
Pencarian
bersama itu termasuk kedalam kategori syirkah
mufawwadah, karena perkonsian suami istri itu tidak terbatas. Apa saja
mereka yang mereka hasilkan selama dalam masa perkawinan menjadi harta bersama,
kecuali yang mereka terima sebagai harta warisan atau pemberian secara khusus
kepada suami istri tersebut.
Imam
Syafi’I tidak membolehkan perkongsian kepercayaan ( sebagai ganti modal, karena
pengertian syirkah menghendaki pencampuran modal. Sedangkan perkonsian tenaga
dan kepercayan tidak ada modal. Oleh sebab itu, kedua macam perkoongsian yang
tidak bermodal ini tidak sah.Ulama mazhab Hanafi menolak alasan Imam Syafi’I
dengan mengemukakan alasan sebagai berikut.
a. Perkongsian tenaga dan kepercayaan sudah
umum dijalankan orang dalam beberapa generasi,tanpa seorang pun yang
membantahnya.
b. Baik perkonsian tenaga maupun
kepercayaan sama-sama mengandung pemberian kuasa, sedangkan pemberi kuasa hukum
nya juga diperbolehkan.
c. Adapun alasan Imam Syafi’ yang
mengatakan bahwa perkongsian diadakan untuk mengembangkan harta sehingga harus
ada modal yang berupa harta, yang akan dikembangkan oleh Mazhab Hanafi
dikatakan bahwa perkonsian tenaga dan kepercayaan diadakan bukan untuk
megembangkan harta, tetapi untuk mencari harta.
Namun
jika terjadi pisah antara suami istri, baik pisah karena wafat atau karena
cerai?
Syariat
tidak membagi harta gono-gini ini dengan bagian masing-masing secara pasti,
misalnya istri 50% dan suami 50%. Sebab, tidak ada nash yang memerintahkan
didalam nusus ( Alquran dan Hadist nabi ). Namun pembagiannya bisa
ditinjau dari beberapa kemungkinan:
Pertama, jika diketahui secara pasti perhitungan harta suami dan istri Yaitu hasil
kerja suami diketahuisecara pasti dikurangi nafkah untuk keluarganya, demikian
juga hasil kerja istri diketahuidengan pasti. Maka perhitungan harta
gono-gininyasangat jelas, yaitu sesuai denga perhitungan tersebut.
Kedua, jika tidak diketahui perhitungan harta suami istri
Sebagai
contohnya suami istri sama-sama kerja atau saling bekerja sama dalam membangun
ekonomi keluarga. Dan kebutuhan keluarga pun ditanggung berdua dari hasil kerja
mereka. sehingga sisanya berapa bagian dari harta suami dan berapa bagian dari
harta istri tidak jelas. Dan inilah gambaran kebanyakan keluarga di negeri
Indonesia.
Dalam
kondisi demikian, harta gono-gini tersebut tidak mungkin dibagi kecuali dengan
jalan sulh, ‘urf atau qadha (putusan).
Sulh sendiri adalah kesepakatan antara suami istri berdasarkan musyawarah atas
dasar saling ridha. Dalil pensyariatan perdamaian suami istri antara lain:
Dari
Katsir bin Abdillah bin Amr bin Auf al-Muzani, dari bapaknya dari kakeknya,
bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Berdamai
itu boleh dilakukan antara kaum muslimin, kecuali sebuah perdamaian yang
mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram. Dan kaum muslimin itu
tergantung pada syarat mereka, kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau
menghalalkan yang haram.” (HR. Tirmidzi no.1370, Ahmad 2:366, dan Abu Dawud
no. 3594)
Saat
menerangkan hadis di atas, ash-Shan’ani berkata, Para ulama telah membagi ash-shulh
(perdamaian) menjadi beberapa macam: perdamaian antara muslim dan kafir,
perdamaian antara suami dan istri, perdamaian antara kelompok yang bughat
(zalim) dan kelompok yang adil, perdamaian antara dua orang yang mengadukan
permasalahan kepada hakim, perdamaian dalam masalah tindak pelukaan seperti
pemberian maaf untuk sanksi harta yang mestinya diberikan, dan perdamaian untuk
memberikan sejumlah harta milik bersama dan hak-hak. Pembagian inilah yang
dimaksud di sini, yakni pembagian yang disebut oleh para ahli fiqih dengan ash-shulh
(perdamaian).
Berdasarkan
dalil hadis yang diriwayatkan oleh Amr bin Auf al-Muzani, jika suami istri
berpisah dan hendak membagi harta gono-gini di antara mereka, dapat ditempuh
jalan perdamaian (ash-shulh). Ditempuh dengan cara perdamaian antara
pasangan suami istri yang sah.
Dengan
jalan perdamaian ini, pembagian harta gono-gini bergantung pada perdamian antara
suami istri. Bisa jadi suami mendapat 50% dan istri 50% atau suami mendapat 30%
dan istri 70%, pun suami bisa mendapat 70% dan istri 30%, dan boleh pula
pembagian dengan nisbah (prosentase) yang lain. Semuanya dibenarkan syara’,
selama merupakan hasil dari perdamaian yang telah ditempuh berdasarkan kerelaan
masing-masing. Memang, dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam) yang diterapkan dalam
Peradilan Agama, harta gono-gini antar suami istri tidaklah dibagi kecuali
masing-masing mendapat 50%. Dalam pasal 97 KHI disebutkan: “Janda atau duda
cerai hidup, masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak
ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
Namun
ketentuan dalam KHI ini bukanlah suatu putusan hukum yang paten yang kuat.
Namun jika pasangan suami istri sepakat membagi harta dengan pembagian
tertentu, maka kesepakatan dan keridhaan mereka didahulukan. Atau ada cara
penyelesaian yang dilakukan oleh pasangan suami istri tersebut yang mungkin
berpedoman kepada kebiasaan kebiasaan adat yang tidak bertentangan dalam hukum
islam. Kebiasaan tersebut yang dilakukan masyarakat tersebut dikenal dengan
sebutan urf.
Urf[11], merupakan adat kebiasaan yang berlaku di sebuah masyarakat, sehingga itu
menjadi hukum di masyarakat tersebut. Para ulama sepakat ‘urf bisa
dijadikan salah satu acuan hukum. Dalam salah satu kaidah fikih disebutkan,
العادة محكمة
“Sebuah adat
kebiasaan itu bisa dijadikan sandaran hukum.”
Dengan syarat:
- ‘Urf itu berlaku umum.
- Tidak bertentangan dengan nash syar’i.
- ‘Urf itu sudah berlaku sejak lama, bukan sebuah kebiasaan yang baru saja terjadi.
- Tidak berbenturan dengan tashrih.
Jadi,
jika dalam masalah harta gono-gini tidak ada kesepakatan antara suami istri, maka
dilihat apakah dalam masyarakat tersebut ada ‘urf yang berlaku tentang
permasalahan harta gono-gini atau tidak. Jika ada, itulah yang diberlakukan.
Wallahu a‘lam.
Qadha
, jika tidak ada sulh dan ‘urf, barulah
masuk dalam sistem terakhir, yaitu qadha. Qadha sendiri adalah
keputusan yang ditetapkan oleh hakim setempat tentang masalah yang disampaikan
kepadanya. Dalam kondisi seperti ini seorang hakim harus melihat kepada kondisi
suami istri tersebut, untuk bisa menentukan pembagian harta gono-gini secara
baik. Dan dalam kondisi ini boleh bagi hakim untuk menggunakan hukum perdata
yang berlaku di peradilan, selagi tidak bertentangan dengan hukum syariat Islam.
Wallahu a’lam bissowab
DAFTAR PUSTAKA
A. Rahman I. Doi Penjelasan lengkap Hukum-hukum Allah (
Jakarta : Raja Grafindo Persada,2002).
Hendi Suhendi,Fiqih Muamalah ( Jakarta : Raja
Grafindo,2002 )
Kahirul
Amri Makalah Harta Bersama
Slamet
Abidin dan Aminuddin,Fiqih Munakahat (
Bandung : Pustaka Setia, 1999 )
Tihami
dan Sohari Sahrani,Fiqih Munakahat (
Jakarta : Rajawali Pers,2008 )
M.Ali
Hasan, Berbagai Macam Transaksi dala Hukum Islam ( Jakarta : Raja Grafindo
Persada, 2004)
Totok
Jumantoro dan Samsul Munir Amin ushul
fikih, penerbit Amzah cetakan kedua,
2009
[2]Slamet Abidin dan
Aminuddin,Fiqih Munakahat ( Bandung :
Pustaka Setia, 1999 ),h.9
[3]Tihami dan Sohari
Sahrani,Fiqih Munakahat ( Jakarta :
Rajawali Pers,2008 ),h.15
[4]Hendi Suhendi,Fiqih Muamalah ( Jakarta : Raja
Grafindo,2002 ), h. 9
[6]Kahirul Amri Makalah Harta Bersama. h. 1
[7]M.Ali Hasan, Berbagai
Macam Transaksi dala Hukum Islam ( Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2004),
h. 71
[8]Komariah,Hukum Perdata, Edisi
Revisi (Cet. III; Malang: UMM Press, 2004), h. 54
[10]A. Rahman I. Doi Penjelasan lengkap Hukum-hukum Allah (
Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2002). h .269
[11] Urf adalah
sesuatu yang dikerjakan secara berulang-ulang tanpa adanya hubungan rasional.
Artinya sesuatu yang dikenal oleh masyarakat dan merupakan kebiasaan masyarakat
baik berupa perkataan maupun perbuatan. ( lihat kamus ushul fikih,
penerbit Amzah cetakan kedua, 2009 )h.
334